watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

TERJEBAK DALAM BADAI

Tes.. tes.. Hujan gerimis. Padahal mentari masih
bersinar, membuai orang-orang menikmati
senja. Aku bergegas pulang. Keramaian taman
makin menghilang. Sibuk orang-orang
menyelamatkan diri dari titik-titik air. Lalu
menyelamatkan yang lainnya, jemuran pakaian
dan kasur. Gerimis meningkatkan frekuensinya
menjadi lebat. Hujan deras. Di depan flatku
seorang wanita muda mengangkati jemurannya
yang cukup banyak. Kelihatannya kurang
mengantisipasi akibat baru bangun tidur. Masih
memakai piyama.
"Saka, bantuin Tante dong!"
Tanpa bicara aku membantunya. Sprei,
kelambu, baju, t-shirt, dan ..ih, pakaian dalam.
"Bawa ke mana, Tante?"
"Sekalian ke dalam aja!"
Tante Imas berjalan di depanku. Menaiki tangga
hingga lantai dua. Aku cukup puas menikmati
irama pinggulnya yang kukira agak dibuat-buat.
Saat menghadap ke arah terang, siluet tubuhnya
jelas membayang. Seakan telanjang. Kami
masuk ke rumahnya. Tante Imas
menggeletakkan jemuran di sudut kamarnya,
akupun mengikutinya.
"Makasih ya? Kamu mau minum apa, Ka?"
tanyanya yang langsung menghentikan
maksudku untuk langsung pulang.
"Apa aja deh, Tante. Asal anget."
Kurebahkan diri di sofanya. Hmm, lumayan
nyaman. Tante Imas belum mempunyai anak.
Yang kutahu, suaminya, Om yang tak kutahu
namanya itu hanya sekali-kali pulang. Dengar-
dengar pekerjaanya sebagai pelaut. Ha ha,
pelaut. Di mana mendarat, di situ membuang
jangkar. Sinis sekali aku.
"Om belum pulang, Tante?" tanyaku basa-basi
sambil menerima teh hangat.
"Belum, nggak tentu pulangnya. Biasanya sih,
hari Minggu. Tapi hari Minggu kemarin nggak
pulang juga."
"Tante nggak kemana-mana?"
"Mau kemana, paling cuma di rumah saja. Kalau
ada Om baru pergi-pergi."
"Eh, kamu nggak ada keperluan lain, kan?"
"Nggak, Tante," jawabku. Mau apa aku di rumah,
sendirian, di tengah hujan yang semakin lebat
begini.
"Temenin Tante ya. Ngobrol."
Kamipun terlibat dalam obrolan yang biasa saja.
Sekedar ingin tahu kehidupan masing masing.
Dari ucapannya, kutahu bahwa suaminya
bernama Om Iwan. Jarang pulang. Yang cukup
membuat darahku berdesir agak cepat adalah
daster itu. Seakan aku bisa melihat dua titik di
dadanya, yang timbul tenggelam ketika kami
bercengkrama. Tangan Tante Imas cukup
atraktif. Entah sengaja atau tidak sering
menyentuh tanganku, atau mampir di pahaku.
Makin lama duduknya pun semakin dekat.
Hingga..
"Saka, mau nonton film nggak? Tante punya film
bagus nih."
Wah untunglah. Rumahku tidak mempunyai
vCD player. Tante Imas menyalakan TV lalu
memasang film. Dan, astaga ternyata dia benar
tidak memakai BH dan celana dalam. Aku bisa
melihatnya jelas karena dia cukup lama berdiri
menyamping, cahaya TV membuat gaun
tidurnya menjadi selaput transparan. Bentuk
payudara beserta putingnya beserta rambut di
pangkal paha. Aku lebih ternganga lagi karena
film itu XX. Kembali Tante Imas duduk di
sampingku, malahan lebih dekat lagi. Tangannya
mengusap-usap lenganku dengan lembut.
"Filmnya bagus ya?" Bisiknya pelan.
Namun terdengar di telingaku bagaikan rayuan.
Aku tak mampu menjawab karena bibir
bawahku menahan ekstasi yang kuat. Entah apa
yang harus kulakukan kini. Mataku tak lepas dari
wanita yang merintih di film itu, yang sudah
distel suaranya pelan. Tante Imas
menggenggam pergelangan tanganku. Dan,
astaga. Dibawanya tanganku ke payudaranya.
Didiktenya tangan ini ke daerah yang tak pernah
dirasakan sebelumnya. Begitu pula tangan kiriku.
Kini masing-masing telapak tangan itu
memegang rata masing-masing pasangannya,
payudara. Pandanganku masih ke arah TV. Aku
tak berani menatap wajah Tante Imas.. Tak
pernah aku impikan hal ini terjadi. Sementara di
TV desahan si gadis yang menghadapi dua
batang penis makin membuat hot suasana.
"Saka, hadap sini dong," ujarnya manja.
Kuhadapkan wajahku. Kulihat tatapan
pengharapan di sana. Wajah Tante Imas cukup
cantik, dengan kulit putih dan senyuman manis
yang menghiasinya. Aku masih memegang
payudara itu, hanya memegang dengan daster
yang melapisinya. Ah, tak terasa daster itu.
Hanya payudara besar ini fokus pikiranku.
Tanganku masih canggung, sementara ada
sesuatu yang mulai menggeliat di bawah sana.
Tiba-tiba dia menghentikanku, dengan cara yang
sempurna. Tangannya merengkuhku dalam
pelukan, sementara bibirnya mencium lembut.
Payudaranya menghimpit dadaku. Membuat
dadaku berdetak hingga aku merasa bisa
mendengarnya. Ciumannya nikmat. Beda sekali
sekali dengan apa yang ada di TV. Seakan ingin
mengaliri dengan hangat jiwanya. Kami
berciuman lama sekali, tak terasa tanganku ikut
mendekapnya makin erat. Kulepaskan
dekapanku untuk mulai mengontrol diri kembali.
Berakhirlah sesi ciuman itu.
"Kenapa Saka? Kamu marah ya?" tanyanya
pelan.
Tapi sialan, suara-suara di TV itu kembali
mengacaukanku. Melumpuhkanku lagi dalam
birahi.
"Maafin Tante ya? Tante.." Wajah itu
mengeluarkan prana iba untuk dikasihi.
Dia kembali menciumku, cukup hangat. Namun
tak sehangat tadi kurasa. Akupun tak mengharap
ciuman kasih sayang, karena dariku juga tinggal
nafsu. Ciuman-ciuman itu pindah ke leher dan
telinga. Ah, tak pernah kubayangkan bahwa
daerah ini lebih membuatku bergidik. Akupun
menirunya. Kami saling menciumi leher, bahkan
Tante Imas sempat mencium keras.
"Aduh, Tante.."
Dia lalu tersenyum dan berdiri. Perlahan dia
melepas daster itu, mulai dari tangannya. Satu
demi satu tangan daster itu terlepas. Daster
melorot, tertahan sebentar di bulatan
payudaranya yang besar. Dia menarik ke bawah
lagi daster itu. Terlihat payudara, tanpa BH. Putih,
bulat, besar, dengan puting susu berwarna
merah muda. Mulutku menganga kagum seakan
ingin memakannya. Aku menelan ludah.
Diturunkannya lagi. Aku menikmati satu persatu
sajian pemandangan itu. Perutnya putih dengan
pinggang yang ramping. Pusarnya menjadi
penghias di sana. Daster itu tertahan di
pinggangnya. Oh, pantatnya menahan. Aku
semakin berdebar, ingin mempercepat proses
itu, aku ingin segera melihat kemaluannya.
Diturunkan lagi, dan ah.. vagina itu muncul juga.
Dihiasi rambut berbentuk segitiga yang tak
begitu lebat. Bibir vaginanya merah segar, sedikit
basah. Untuk pertama kalinya aku melihat wanita
bugil. Dengan senyumnya, bangga membuatku
tergakum-kagum.
"Sekarang, kamu juga buka ya?" perintahnya
manja.
Aku membuka tshirtku. Tante Imas membuka
celanaku, Lepas jinsku, tapi Tante Imas tak
segera membukanya. Dia jongkok lalu menjilati
penisku dari luar celana dalam. Tampak noda
basah sperma yang makin ditambah oleh air
ludah. Penis itu makin membesar dalam celana
dalam, rasanya tak enak kerena tertahan. Segera
kubuka dan ..hup keluarlah batang kemaluan
diikuti dua bolanya. Tante Imas mengecupnya, si
penis tampak membesar. Semakin tegaknya
penis diikuti dengan jilatan-jilatan lidah. Uff, enak
sekali.
Kini gantian tangannya yang bekerja. Pertama
dirabanya semua bagian penis, lalu mulai
mengocoknya. Setelah kira-kira telah utuh
bentuknya, tegak dan besar, dimasukkannya ke
dalam mulut. Tante Imas memandang ke atas,
wajahnya berseri-seri .
"Teruskan Tante."
Lidah Tante Imas menjilat-jilat, kadang
menggelitik penisku. Lalu mulai memaju
mundurkan mulutnya, seakan sebuah vagina
menyetubuhi penis. Ini hebat sekali. Sekitar 15
menit permainan itu berlangsung, hingga..
"Tante, saya mau ke-luar.." kataku terengah-
engah.
Tante Imas malah mempercepat kocokan
mulutnya. Aku ikut memegang kepalanya. Dan
keluarlah ia. Aku merasa ada 5 semprotan
kencang. Tante Imas tidak melepasnya, ia
menelannya. Bahkan terus mengocok hingga
habis spermanya. Lega rasanya tapi lemas
badanku. Tante Imas berdiri, kemudian kami
berciuman lagi. A
"Sekarang gantian ya.."
Kini aku menghadapi payudara siap saji. Pertama
kuraba-raba dengan kedua tanganku. Remasan
itu kubuat berirama. Lalu aku mulai
berkonsentrasi pada puting susu. Kutarik-tarik
hingga payudaranya terbawa dan kulepaskan.
Hmm, bagaimana rasanya ya? Aku mulai
menjilatinya. Enak. Jilatanku pada satu payudara
sementara tangan yang lain meremas satunya.
Ketika kuhisap-hisap putingnya, terasa makin
mancung, mengeras, dan tebal puting itu.
Kulakukan pula pada payudara satunya. Oh,
ternyata jika wanita terangsang, yang ereksi
adalah puting susunya. Kira-kira 5 menit aku
melakukannya dengan nikmat.
Kemudian jilatanku turun, hingga vaginanya.
Kucoba dengan jilatan-jilatan. Kusibakkan lagi
rambut kemaluannya agar jilatan lebih
sempurna. Ada seperti daging kecil yang
menyembul. Yang kutahu, itu adalah klitoris.
Kuhisap seperti menghisap puting susu, eh
Tante Imas merintih.
"Hmm, Saka, jangan dihisap. Geli. Tante nggak
kuat."
Dan Tente Imas benar-benar lunglai. Tubuhnya
rebah ke sofa. Dia terlentang dengan paha
mengangkang memperlihatkan vagina terbuka
dan payudara yang berputing tegak. Aku
lanjutkan lagi kegiatan ini. Makin lama
kemaluannya makin basah. Jilatan dan hisapanku
makin bersemangat, sementara di sana Tante
meremas-remas payudaranya sendiri menahan
ektasi.
Tiba-tiba pahanya mendekap kepalaku dan ..serr
seperti ada aliran lendir dari vaginanya. Otot liang
itu berkontraksi. Inikah orgasme, hebat sekali,
dan aku melihatnya dari dekat. Tak kusia-siakan
lendir yang mengalir, kuhisap dan kutelan.
Rasanya lebih enak dari sperma. Tubuh Tante
Imas yang bergoyang-goyang akhirnya tenang
kembali. Jepitan pahanya mulai melemah namun
penisku mulai ereksi lagi. Kucium mesra
vaginanya seperti aku mencium bibirnya. Tante
Iya tersenyum. Bibirnya berkata "Terima kasih,"
namun tak mengeluarkan suara.
Gambar di film itu merangsang kami. Wanita
berpayudara besar terlentang diatas meja kantor.
Diatasnya laki-laki dengan penis panjang dan
besar menyetubuhi payudaranya. Tangan si
wanita menekan payudaranya sendiri agar
merapat, dan penis itu melewati celahnya.
Kupikir pasti asyik sekali. Aku menjilati dulu
payudara Tante Imas, agar basah dan lengket.
Tak lupa dengan hisapan-hisapan di putingnya.
Setelah merasa cukup, aku duduk di muka
payudara itu. Tante Imas merapatkan celah
payudaranya. Dia tersenyum senang. Aku mulai
dengan pelan memasuki celah payudara, seakan
itu adalah liang vagina. Uff, sensasinya luar biasa.
Aku mulai memaju mundurkan penis dengan
irama. Ujung penisku terlihat saat aku maju.
Kalau klimaks, pasti spermanya sampai ke wajah
Tante. Tanganku ikut memegang payudara
untuk menguatkan hujaman penis. Kadang aku
menarik-narik puting susu. Aku mencium
bibirnya, mengangkat paha di lehernya,
kemudian menyerahkan lagi penisku. Dihisap
dan jilat lagi, seperti tak puas saja. Posisiku
duduk tak enak. Aku tak bisa duduk karena akan
menekan lehernya, tangankupun tak bisa
memaju mundurkan kepalanya. Oh, ada
sandaran tangan. Empuk lagi. Apalagi kalau
bukan payudara. Sambil aku meremas-
remasnya, penis seperti diremas-remas juga.
Tante Imas mengeluarkan kemaluanku sebentar,
mengajak posisi 69. Hm, kupikir boleh juga.
Maka aku berganti posisi lagi. Tubuhku
menghadap Tante Imas, tapi saling berlawanan.
Penisku di mulutnya, vaginanya di mulutku.
Sampai beberapa saat kami melakukan itu. Aku
tak tahu apakah Tante mendapat orgasme lagi,
tapi dia sempat diam mengulum penisku,
pahanya menekan rapat kepalaku, tapi tak ada
cairan yang keluar.
"Saka, berhenti dulu deh." serunya.
Padahal aku sedang asyik dengan posisi ini.
Tante Imas berdiri menuju ke dapur. Rupanya
dia minum air dingin. Tante Imas datang.
Membawa dua gelas air es dan menyodorkan
dua tablet yang kuduga obat kuat. Kami
meminumnya satu-satu. Tante
memperhatikanku lalu melihat film itu.
"Kita bercumbu beneran, yuk," ajaknya.
"Di bathtub yuk."
Dia memegang kemaluanku seperti memegang
tanganku, untuk mengajak dengan
menggandeng penis itu. Kami ke kamar
mandinya. Bathtub-nya cukup besar, Kami mulai
lagi. Di bawah shower itu berpelukan sambil
meraba dan menyabuni. Nikmat sekali
menyabuni payudaranya, senikmat disabuni
penisku. Tak ada yang terlewatkan, termasuk
vagina dan anus. Ketika air mulai penuh, kami
berendam. Airnya tak diberi busa. Nyaman
sekali. Lalu kami mulai saling merangsang,
meninggikan tensi kembali. Tante Imas
mengocok penisku dalam air, sementara aku
meraba-raba vaginanya.
Tak berapa lama dia duduk di pinggiran bathtub.
Kelihatannya dia ingin vaginanya dijilat. Aku
merangkak menjilatinya. Cairannya mulai keluar
lagi.
"Pakai tangan juga dong," pintanya lanjut.
Aku menuruti saja. Kukocok dengan telunjuk
kananku. Kucoba telunjuk dan jari tengah,
semakin asyik. Tangan kiriku mengusap
klitorisnya. Tante memejamkan matanya
menahan nikmatnya. Sebelum berlanjut lebih
jauh, Tante menghentikan. Membalik badannya
menjadi menungging dan membuka pantatnya.
Ternyata dari tadi aku belum mengeksplorasi
daerah anus. Akupun mencobanya. Kujilat
anusnya, reaksi Tante mendukung. Kujilat-jilat
lagi, dari anus hingga vagina. Lalu kocoba
masukkan dua jariku lagi ke vaginanya dan
mengocoknya. Lidahku menjilat-jilat lagi. Daerah
pantat yang menggembung berdaging kenyal
seperti payudara. Akupun suka. Tante Imas
menunjukkan reaksi seperti akan orgasme lagi.
Desahannya mulai keras.
"Saka, Tante mau keluar lagi nih. Cepat! Pakai
penismu. Ayo masukin penismu. Cumbu Tante,
Saka," jeritnya tertahan putus-putus.
Astaga, dirty talk sekali. Membuat aku makin
terangsang. Aku siapkan penisku, walau agak
bingung karena tak ada pengalaman. Tante Imas
mengocok vaginanya sendiri sambil
menungguku memasukkan penis. Penis sudah
kuarahkan ke vagina.
"Tante, nggak bisa masuk, nih," tanyaku
bingung.
"Tekan saja yang kuat. Tapi pelan-pelan."
Aku ikuti sarannya, tetap saja susah. Dasar
pemula. Jadinya penisku hanya merangsang
mulut vagina saja, menggosok klitoris, tapi itu
malah membuat Tante makin terangsang.
"Ayo masukkan, Tante sudah hampir keluar,"
Dengan tenaga penuh aku coba lagi. Dan,
berhasil. Kepala penisku bisa masuk walau
sempit sekali. Tante Imas bergoyang untuk
merasakan gesekan karena klimaksnya semakin
dekat. Ketika aku coba masukkan lebih dalam
lanjut pantat Tante bergoyang hebat. Otot
vaginanya seperti meremas-remas. Penisku
yang walau baru kepalanya saja menikmati
remasan vagina ini. Dan Tantepun orgasme.
Setelah itu dia jatuh dan berbaring dalam
bathtub. Aku sudah melepaskan penisku.
"Tante, maafin saya ya," kataku agak menyesal.
Aku belum memasukkan seluruh penisku dalam
vaginanya saat dia orgasme.
"Nggak apa-apa. Kepala penisnya sudah nikmat,
koq. Ayo kita coba lagi. Sekarang penis kamu
mau dikulum, nggak?" Tak usah bertanya. Ganti
aku yang duduk di tepi bathtub".
Tante merangkak dan mengulum penisku. Ah,
pose seperti ini membuat aku nyaman, seakan
aku yang punya kuasa. Di ujung tubuh yang
merangkak itu ada pantat. Wah, empuknya
seperti payudara. Akupun menjamah dan
meremas-remasnya. Kadang aku
membandingkan dengan satu tangan tetap
meremas pantat, tangan yang lain meremas
payudara. Kenikmatan ganda. Kelihatannya Tante
juga menikmati sekali.
Ombak berdebur kecil di bathtub itu. Kurasakan
penisku mulai megeluarkan tanda akan klimaks.
Tumben cukup lama sekali aku bertahan.
Mungkin karena obat yang diberikan Tante.
Kuhentikan gerakan Tante, kuanggukkan
kepalaku ke wajahnya yang masih mengulum
penisku. Tante berdiri, aku mengikutinya. Tante
membuka vaginanya, aku mengarahkan
penisku. Kugosok-gosokkan ke vaginanya.
Kutemukan klitosinya. Seperti puting susu,
kumasukkan klitoris itu ke dalam lubang penisku.
Rangsangannya kuat, sampai-sampai Tante mau
jatuh lagi seperti ketika klitorisnya kuhisap kuat-
kuat. Ok, sekarang aku mulai memasukkan
penisku. Tante Imas menggenggam penisku,
mengarahkan agar bisa masuk. Aku seperti
orang bodoh yang harus diajari untuk
melakukan gerakan yang kupikir semua laki-laki
juga bisa. Ternyata tidak mudah. Dengan susah
payah akhirnya kepala penisku masuk.
Seperti tadi, kucoba goyang maju mundur untuk
membuatnya siap melanjutkan misinya.
Suasana begitu sepi, mungkin sudah malam.
Tapi hujan masih menetes satu-satu. Sunyi. Saat
itu, tiba-tiba ada ketukan di pintu rumah.
Tok..tok..tok.. Dan kami diam seperti hendak
dipotret saja,
"Imas..Imas, ini aku. bukain pintu dong..", teriak
seorang laki-laki.
Kami bagai tersambar geledek, mematung
dalam badai. Hujan tadi berlanjut menjadi badai
akibat suara itu.
"Mas Iwan..", bisik Tante Imas pelan. Penisku
langsung lemas, keluar begitu saja dari vagina
yang telah susah payah berusaha dijebolnya.
"Apa yang harus kita lakukan?"
"Aku akan berpura-pura.."
"Kalau aku?"
"Sembunyi saja." "Dimana?" Kata-kata kami
meluncur cepat nyaris tak bersuara. Kami
berusaha berfikir. Agak sulit, karena sedari tadi
hanya menggunakan nafsu.
"Imas, kamu tidur ya? Bukain dong," suara Om
Iwan seakan detik-detik bom waktu yang siap
meledak. Wajah Tante Imas sedikit cerah.
"Aku ada akal.."
"Gimana?" tanyaku tak sabar.
"Kamu di sini saja dulu. Jangan keluar sebelum
kupanggil."
Tante Imas merendam lagi dirinya dalam
bathtub, kemudian keluar. Aku menutup pintu
kamar mandi, tidak terlalu rapat agar bisa melihat
keadaan. Kulihat Tante Imas membawa
pakaianku dan menengelamkannya dalam
tumpukan jemurannya. Mengelap lagi sofa
dengan dasternya, melemparkan daster itu ke
tumpukan jemuran. Kemudian membuka pintu.
Apa yang dilakukannya? Dia sudah gila? Aku bisa
mati jika suaminya tahu kami telah berbuat.
Belum sih, tapi hanpir menyetubuhi istrinya.
Lalu? Adakah mantra untuk menghilang? Aku
takut menghadapi kenyataan Saat ini Di tempat
ini Dalam keadaan ini Dengan apa yang telah
kulakukan
Tamat


Adult | GO HOME | Exit
1/804
U-ON

inc Powered by Xtgem.com